Opsiberita.com - Tim kuasa hukum Drg. Ester Agatha Purba akan menempuh jalur hukum jika Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tidak menanggapi somasi yang telah dilayangkan. Somasi tersebut berisi tuntutan pencairan uang pesangon sebesar Rp 92.345.414,- yang menurut tim hukum adalah hak klien mereka.
Dalam keterangan kepada wartawan di Medan, Kamis (22/8/2024), tim kuasa hukum Drg. Ester, yang terdiri dari Esron J. Silaban, SH, MH, Robin AJ Hutagaol, SH, dan Jepri Sitohang, SH, menyatakan bahwa surat somasi ini dikirimkan setelah upaya penyelesaian perselisihan melalui negosiasi bipartit dan tripartit tidak mencapai kesepakatan.
“Dalam somasi tersebut, kami meminta agar rumah sakit segera mencairkan pesangon klien kami secara tunai dan sekaligus. Jika dalam waktu 4x24 jam somasi ini tidak ditanggapi, kami akan menempuh jalur hukum, baik pidana maupun perdata,” tegas Esron J. Silaban.
Somasi ini juga, lanjut dia, mengungkap dugaan manipulasi data terkait pelaporan penerimaan upah klien mereka di BPJS Ketenagakerjaan, di mana upah yang dilaporkan berbeda dengan jumlah yang sebenarnya diterima oleh klien mereka.
Ia menegaskan jika tuntutan ini tidak dipenuhi, pihaknya menyatakan akan mengajukan pengaduan resmi ke Polda Sumut terkait dugaan tindak pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Esron menjelaskan, Drg. Ester telah bekerja di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan sejak 15 Oktober 2008 berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan masa kerja satu tahun. Setelah perjanjian tersebut berakhir, ia tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa ada perjanjian baru, menerima upah bulanan sebesar Rp 2.879.000,- ditambah 40% dari tarif tindakan medis yang dilakukannya. Menurut kuasa hukumnya, kondisi ini secara otomatis menjadikan hubungan kerja tersebut berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap.
Masalah mulai muncul pada Agustus 2022 ketika STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Izin Praktek) Drg. Ester habis masa berlakunya. Akibatnya, ia mengajukan permohonan cuti untuk mengurus perpanjangan dokumen tersebut.
Selama masa cuti, tepatnya sejak November 2022, ia tidak lagi menerima gaji dari pihak rumah sakit. Pada Desember 2023, setelah menyelesaikan pengurusan perpanjangan STR dan SIP, ia kembali bekerja. Namun, beberapa hari setelah mulai bekerja, ia menerima surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa honornya akan berubah menjadi Rp 100.000,- per hari dengan jadwal kerja dua hari dalam seminggu.
"Perubahan ini sangat tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya, sehingga Drg. Ester merasa keberatan," terang Esron.
Menghadapi situasi ini, Drg. Ester, melalui kuasa hukumnya, mengajukan permohonan untuk menyelesaikan perselisihan secara bipartit. Pihak rumah sakit menawarkan pesangon dengan dasar perhitungan upah bulanan tetap sebesar Rp 2.879.000,- dikalikan masa kerja.
Namun, karena upah ini berada di bawah UMK Kota Medan sebesar Rp 3.769.082,-, tawaran pesangon disesuaikan dengan nilai UMR tersebut. Tawaran ini ditolak oleh Drg. Ester karena tidak memasukkan komponen tambahan dari hasil tindakan medis yang sebelumnya diterimanya.
Setelah proses bipartit gagal, kasus ini dilanjutkan ke tahap tripartit yang difasilitasi oleh Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan. Namun, setelah beberapa kali mediasi, perselisihan tersebut tetap tidak menemui titik temu.
Pada 12 Agustus 2024, mediator dari Dinas Ketenagakerjaan mengeluarkan surat anjuran yang menganjurkan agar pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan membayar pesangon sebesar Rp 92.345.414,- kepada Drg. Ester.
Meskipun nilai pesangon yang dianjurkan oleh mediator tidak sesuai dengan tuntutan awal, Drg. Ester melalui kuasa hukumnya menyatakan siap menerima anjuran tersebut demi menyelesaikan konflik.
“Namun demikian dalam hal ini pihak rumah sakit tidak bersedia memenuhinya, sehingga atas hal tersebut kami berpendapat bahwa pihak rumah sakit yang selama ini dikenal sebagai rumah sakit yang berbasis keagamaan sama sekali tidak memiliki empati dan kasih kepada klien kami yang telah bekerja selama 14 tahun,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait surat somasi yang dikirimkan kepada Direktur Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan menegaskan bahwa jika somasi ini tidak ditanggapi dalam waktu 4x24 jam, kuasa hukum akan melanjutkan masalah ini ke jalur hukum, baik pidana maupun perdata.
"Kami juga mengingatkan bahwa pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan bisa menghadapi konsekuensi hukum lebih lanjut. Dalam Pasal 185 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran upah minimum, dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun serta denda hingga Rp 400 juta,” ujar dia.
Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan mengatakan dr. Eddy Jefferson Ritonga ketika dikonfirmasi mengaku tidak mengetahui secara detail persoalan tersebut.
“Coba nanti saya tanyakan dengan pengacara kami, setahu saya prosesnya sudah ke disnaker,” ujarnya.
Secara terpisah, kuasa hukum Rumah Sakit Elisabeth Medan Betman Sitorus mengaku pihaknya akan mengajukan gugatan ke PHI pada Pengadilan Negeri (PN) Medan.
“Kemarin sudah ada anjuran dari Disnaker Medan, tapi kami menolak, oleh karena itu kami akan mengajukan gugatan ke PHI ke Pengadilan Negeri Medan,” sebut Betman Sitorus.(ob)