Opsiberita.com - Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menghentikan penuntutan kasus anak pukul ibu kandung di Labuhanbatu Selatan (Labusel), dengan pendekatan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif.
"Tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan," ucap Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut, Yos A Tarigan, Senin (9/9/2024).
Yos mengatakan, kasus tindak pidana itu akhirnya dihentikan penuntutannya dengan pendekatan keadilan restoratif lebih melihat kepada esensinya.
"Proses penghentian penuntutan suatu perkara dengan penerapan Perja Nomor 15 Tahun 2020 tidak serta merta dilakukan begitu saja tanpa melihat esensinya," ujarnya.
Yos menyebut, kasus pemukulan itu berawal saat tersangka SS yang sudah berkeluarga tinggal di rumah orang tuanya dan melakukan pemukulan terhadap SR, yang merupakan ibu kandungnya.
"Awalnya, tersangka kesal dengan korban karena tersangka diancam menggunakan parang, tak terima dengan itu, tersangka memukul korban," jelasnya.
Tidak senang dengan perbuatan anaknya, korban SR membuat laporan ke Polres Labuhanbatu Selatan dan kasus itu diproses hingga dilimpahkan ke Kejari Labuhanbatu Selatan.
"Tersangka diduga melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-undang RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana," sebutnya.
Dalam kasus ini, sebut Yos, jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Labuhanbatu Selatan, mencoba melakukan mediasi dan mempertemukan tersangka dengan korban.
"Dari mediasi itu, JPU berhasil mendamaikan tersangka dengan korban yang disaksikan oleh pihak keluarga serta tokoh agama dan tokoh masyarakat," ujarnya.
Dikatakannya, proses keadilan restoratif melalui beberapa tahapan dan dilakukan secara berjenjang dari jaksa penuntut umum kepada kepala kejaksaan negeri dan dilanjutkan kepada asisten tindak pidana umum.
"Kemudian, Kepala Kejati melakukan ekspose di hadapan JAMPidum hingga akhirnya diputuskan apakah dihentikan atau diteruskan ke persidangan," ujarnya.
Kata Yos, disetujuinya sebuah perkara untuk dihentikan secara humanis, artinya antara tersangka dan korban sudah bersepakat berdamai, dan tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang sama.
"Syarat utama dilakukannya penghentian penuntutan sebuah perkara adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta," ujarnya.
Dia menambahkan, dengan dihentikannya proses penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif atau secara humanis, artinya antara tersangka dan korban dikembalikan keadaannya ke semula dan terciptanya harmoni di tengah-tengah masyarakat.(ob/adm)